Belakangan rumah selalu ramai pada jam 9–11. Rame anak-anak pada main. Saya jadi semacam host buat teman-teman sepermainan aila, dan rumah yang baru diberesin juga kembali berantakan. Namanya juga anak-anak, balita pula. Soal ini sih saya oke aja, gak papa, toh nanti bisa dibereskan lagi. Pernah membaca note seseorang soal ini, katanya “biarkanlah rumah berantakan karena anak bermain bersama temannya, toh rumah yang berantakan bisa kita bersihkan lagi, daripada anak kita main diluar dan tidak terkontrol. Karena kalau perilaku anak yg berantakan akan lebih susah dibereskan tentunya.” Dalem toh? Menampar buanget itu.
Karena anak-anak itu sering main kerumah, saya juga jadi kenal tabiatnya. Si A sukanya ini tapi begini, si B sukanya itu tapi begitu. Kadang ada anak yang gampang sekali marah, ada anak yang cuek, ada anak yang bossy, yang gitu-gitu deh. Anak saya juga kadang begini tapi begitu. Nah, ini jadi pertanyaan, apa iya perilaku anak-anak ini cerminan perilaku orang tuanya? Atau beginikah dia biasa diperlakukan di rumah? Pertanyaan-pertanyaan ini menimbulkan pertanyaan yang lebih dahsyat lagi: “sudah betul belum ya saya mendidik anak?” Nah loh, pusing gak tu.
Saya jadi merasa, “oh, begini toh rasanya jadi orang tua. Oh, ini toh yang orang tua saya rasakan.” Orang bilang jadi orang tua itu susah, gak ada sekolahnya. Kamu akan learning by doing, kadang ada trial and error. Anak akan meniru apapun yang kita ucapkan dan kita lakukan. Maka jadi orang tua harus betul. Sempat terbersit di pikiran, sebobrok-bobroknya orang pasti dia akan belajar menjadi baik dan benar ketika dia punya anak, ketika jadi orang tua. Semoga tidak usah menunggu jadi orang tua kita memang sudah menjadi manusia baik ya. Minimal mencoba jadi manusia baik bagi sekitar.
Ya, menjadi orang tua, menjadi ibu adalah pembelajaran seumur hidup. Anak-anak kita yang jadi gurunya. Anak(anak)ku, doakan mamap ya.